Gunung Lawu: Menyembuhkan Hati di Ketinggian 3265 mdpl - NDX AKA MUSIC -->

NDX AKA MUSIC

NDX AKA MUSIC : SATU NDX SEJUTA FAMILIA

Gunung Lawu: Menyembuhkan Hati di Ketinggian 3265 mdpl

loading...
loading...
loading...


ada kala ku merasa... hidup ini seperti kaca~~
jikalau tidak bersabar.... hancur berderai lah jadinya~~


Lantunan suara bass betot ala Afgan di lagu Ku Mohon, lagu remake dari penyanyi Malaysia, Sheila Majid, sukses membuat suasana kegalauan gue makin menjadi di tengah-tengah ilalang yang bergoyang terkena sapuann angin. Ingin kulari ke hutan, aku sudah ada di hutan. Ingin ku teriak, takut disamperin macan.

oh Tuhan, terangkan hati dalam sanubariku~~
untuk menempuhi segala hidup penuh cabaran ini~~


Asli, semakin Afgan nyanyi, gue semakin pengen nangis. Keparat kau, Afgan! Kegalauan ini semakin merasuki relung hati terdalam gara-gara lagu sialan lo keputer!


***

Sejak menapaki usia seperempat abad, mulai ada yang gak beres dalam hati, kepala, otak, bahkan badan gue. Bukan, bukan dada gue tumbuh menonjol, atau mengalami haid seperti kebanyakan wanita di masa pubertas, tapi.... gue jadi semakin sering mempertanyakan hidup. Eksistensi gue. Keberadaan gue. Tujuan hidup gue. Apa aja yang udah gue raih. Kemana setelah ini. Habis ini apa. Dimana jodoh gue.

Kalau kata temen, gue lagi kena quarter life crisis. Dimana masa-masa ini, menjadi titik nadir gue. Makanya gue galau rauwis-uwis.

Dan menyebabkan, gue nekat mengambil keputusan untuk mendaki Gunung Lawu seorang diri, tanpa seorang pun gue kasih tau. Serem memang, tapi, keputusan gue sudah bulat, seperti bakso yang lezat. Duh jadi laper. Ah, gak maksimal kan galaunya. Bye.

***



Pilihan jalur pendakian gue di Lawu jatuh pada jalur naik via Candi Cetho - Hargo Dalem - Hargo Dumilah lalu turun via jalur Cemoro Sewu, semua berkat Nophe, wanita setrong, kuncennya Gunung Lawu, bagian dari keluarga Jalan Pendaki yang pernah gue ceritakan di [Bukan] Cerbung Ciremai. Menurut itung-itungan dia, gue paling cocok lewat jalur Candi Cetho karena lebih menantang, lebih jarang yang datang, dan lebih macho. Sampai.....

Gue bener-bener sendirian. Tenggelam di hamparan ilalang. Bersama suara bass betotnya Afgan.

***

Jalur Candi Cetho, di Kabupaten Karanganyar memang terkenal jadi salah satu jalur pendakian Gunung Lawu paling berat setelah jalur Jogorogo. Makanya, gak banyak pendaki yang memilih untuk melewati jalur ini. Apalagi sendirian. Dasar orang gila! Udah gila, galau lagi!

Banyak banget cerita mistis yang gue denger baik dari Nophe, mau pun dari tulisan-tulisan soal Gunung Lawu yang berseliweran di inet. Dan baru gue rasain banget, begitu menginjakkan kaki di Candi Cetho. Merinding mulai menjalari gue ketika semakin masuk melewati Candi Kethek dan Puri Saraswati. Tapi, gak ada yang bisa ngalahin perasaan gak enak yang mendominasi perasaan galau dan menye-menye, yang gue bawa dari Jakarta pas mencapai Pos IV. Duh kebanyakan yang nih, bye.




Pos V sering disebut-sebut dengan Bulak Peperangan. Gosip yang beredar, dulu banget, jaman orang-orang masih bisa pada terbang, kalau turun dri pohon tinggal lompat. Jaman ngobrol masih pake telepati, bukan SLJJ, apalagi Skype, apalagi Line Call. Jaman kuda masih jadi tunggangan favorit bangsawan, bukan Avanza, apalagi Xenia. Jaman kalau marah bukan ngirimin sticker, tapi ngirimin bola api. Gitu deh, berat amat ya kayaknya jaman itu.

Pada jaman itu, konon katanya Raden Brawijaya menjadikan Gunung Lawu sebagai tempat persembunyiannya. Dia dikejar pasukan Demak yang dipimpin Raden Patah, anaknya sendiri. Sepele sih, anaknya pengen bapaknya masuk Islam, tapi bapaknya kan belum dapet hidayah, jadi males disuruh-suruh, kabur deh ke Gunung. Lumayan sepele sih, alesannya. 

Tapi, selain dikejar anaknya, ternyata Raden Brawijaya juga dikejar pasukan Cepu, yang dipimpin oleh Adipati Cepu, musuh bebuyutannya. Saking keselnya dikejar-kejar sama pasukan Cepu, sang Raden sampe mengutuki Adipati Cepu hingga ke keturunannya, kalau nyentuh gunung Lawu, bakal mati. Ambekan banget lah pokoknya. Berhubung jaman dulu orang itu sakti-sakti, katanya sampe sekarang orang Cepu takut sih manjat Gunung Lawu.

Gue rasa, Raden Brawijaya itu adalah artis tenar pada jamannya. Banyak banget yang ngejar-ngejar.

Hubungannya sama Pos V yang disebut dengan Bulak Peperangan adalah, ini Pos dulunya jadi lokasi perang sang Raden dengan para pengejarnya. Jadilah namanya Bulak Peperangan. Buat yang bisa 'denger', misalnya malam-malam ngecamp di sana, katanya bakal ada suara-suara rame banget macem perang.

Gue. sih. gak berani. bobo di sana.

Tapi asli, meskipun hawanya luar biasa berat, gelap, dan seram. Bulak Peperangan.... Indah banget. Rasanya kayak pengen gelundungan di padang ilalangnya. Galau yang tadinya merajalela hati gue, perlahan berubah menjadi perasaan tentram campur kalut ngeri-ngeri sedap.



Gue lalu melanjutkan perjalanan ke Pos berikutnya, yang orang sering sebut dengan Tapak Menjangan. Katanya, di sana sering ada menjangan (sejenis rusa) yang berseliweran untuk minum. Tapak menjangan sama Bulak Peperangan sama indahnya. Lebih kerenan Tapak Menjangan ding. Tapi sayangnya gue gak ambil foto karena udah kesorean. Oiya, vegetasi dimulai dari Pos IV sampai Tapak menjangan itu... persis banget kayak Ranu Kumbolo. Kalau ke sini, rasanya gak akan yakin bahwa kita lagi ada di gunung Jawa Tengah. Eh, Gunung Lawu mah termasuk gunung perbatasan Jawa Tengah Jawa Timur ding.

Gue udah taro semua kamera, baik DSLR maupun hape. Karena suasana semakin mencekam. Jujur, bukan pilihan yang bijak jalan-jalan tanpa teman kalau via Candi Cetho. Setelah Tapak Menjangan, jalur yang paling gue ngeri adalah.... Pasar Dieng. Atau biasa juga disebut sebagai.... Pasar Setan.

Gue suka gak paham sama gunung, kenapa sih, dimana-mana ada Pasar Setannya! Betex. KZL. #yakeleus.

Yang gak bisa gue lupain sebelum masuk Pasar Dieng, gue disamperin Jalak Lawu yang konon katanya penjelmaan dari Sunan Lawu (yang ternyata adalah Raden Brawijaya tadi). Jalak Lawu katanya merupakan burung mistis yang baik hati, dia suka menunjukkan jalan bagi para pendaki yang berpotensi nyasar. Mungkin karena melas liat muka gue yang udah capek dan bingung ini, si Jalak Lawu nyamperin dan ngasih tau jalan hingga ke arah Pasar Dieng.

Perasaannya lewat Pasar Dieng gimana?

Serem tentu saja. Maghrib-maghrib separo gelap. Kanan kiri sekeliling gue banyak batu yang disusun bertumpuk. Banyak dupa berserakan. Tiba-tiba angin datang. Petir merajalela. Bayangin aja lah gimana rasanya. Untungnya, 15 menit kemudian, meskipun dalam gelap, gue dapat melihat rumah-rumah yang digambarkan seperti perumahan Hargo Dalem. 5 menit kemudian.....

.....spanduk besar muka Mbok Yem terpampang nyata dan terpercaya!



***



Kita, adalah partikel kecil di dunia, yang tidak akan pernah benar-benar sendiri.

Gue percaya sama hal itu. Bahwa kita gak akan pernah benar-benar sendiri. Terbukti ketika gue, menemukan keluarga baru di pendakian galau edisi Gunung Lawu ini. Gue ketemu serombongan mahasiswa ITS yang kocak-kocak. Mengingatkan gue akan kekonyolan gue waktu jadi mahasiswa dulu. Juga ketemu Mas Adi dan Mas Adit, pegawai MetroTV asal Jakarta yang akhirnya menjadi temen gue pulang ke Jakarta, karena, secara 'kebetulan' kereta kita sama, dan, di gerbong yang sama pula. Yang akhirnya kami malah jadi satu team pendakian saat turun. Saling tunggu-tungguan, berbagi makanan, berbagi cerita, bahkan sampe dapet satu orang yang jadi bahan bullian serombongan. 

Jalur Cemoro Sewu yang gosipnya gampang banget, ternyata kayak eeque. Bagi yang udah pernah mendaki Gunung Gede via Cibodas, bayangin aja jalurnya Cemoro Sewu persis dari Cibodas sampe pertigaan Cibeureum. Bikin chapeque.

Oia, jadinya galau gue kemana?

Menguap bersama rasa lega begitu kaki gue menginjakkan tanah Hargo Dumilah....





loading...
CLICK HERE

0 Komentar Gunung Lawu: Menyembuhkan Hati di Ketinggian 3265 mdpl

Post a Comment

Kamu Familia dari mana ?

Back To Top