loading...
loading...
loading...
Sebelumnya di Diary Pendakian Gunung Argopuro 3.
"Mas, mandi-mandi di sini gapapa kan?" tanya gue sambil teriak-teriak.
"Kalo di sebelah sini ndak papa mas...." jawabnya sambil nunjuk-nunjuk bagian sungai di depan gue yang ketutup rimbunan pohon gemes.
".......kalau sebelah sini gimana mas....?" muka gue udah mulai pucet.
"Kalau sebelah situ... ndak tau deh ada apanya apa ndak...."
"Mas... jangan...."
"Mas.... plis.. jangan becanda...."
"Mas....... AKKKK ULARRRR AAKKKKKKK..."
***
Xyalan banget itu mas-mas geng chubby ranger! Gue diboongin mentah-mentah! Masa katanya ada apa-apa di tempat tadi gue mandi-mandi, pas gue pindah.....
....mereka mandi-mandi di sana sambil cekikikan dan ngambilin selada air! Asyudog memang mereka. PVFT. Gue merasa jadi manusia bodoh.
*kemudian nyanyi
*kemudian galau
*kemudian mati kedinginan
Air sungai Chiqashoor memang sedingin tatapan mantan pas pergi meningalkanku dan memilih pria tajir di ujung sana. Brrr.
Puas mandi-mandi dan membuat kehebohan di alam semesta, gue, Nophe, dan Sandy bergegas menuju banguna-bangunan gemes dan petakan lahan buat ngebangun tenda yang udah dipenuhi sama geng rangers chubby yang lagi bakar-bakar kayu. Oh, ternyata buat masak makan siang.
"Okay, kita istirahat sebentar di sini ya, gengs..." titah gue sama anak-anak yang lagi dirundung asmara terlarang itu.
"Lho, kok? Mau langsung? Gak ngecamp disini?" tiba-tiba kepala rangers chubby ikutan nyaut.
"Iya pak, soalnya khan kita ngejar waktu banget. Udah telat dari jadwal, mau gak mau harus langsung ke Cisentor..." jawab gue. Nophe dan Sandy diem-diem aja.
Tapi dalam hati gue sih, pengen banget stay di Cikasur. Bayangkan, sebuah sabana hijau super luas yang sepi ditemani oleh hutan yang mengademkan hati, serta buncahan air sungai yang membuat kita ingin selalu mandi bak para bidadari dari khayangan yang diintip oleh Jaka Tarub dan diambil selendang terbangnya sehingga tak dapat lagi kembali ke khayangan dan stuck jadi istri Jaka Tarub yang miskin dan sialan itu.
....ini malah ngelantur. Intinya Cikasur itu KEREN BINGGOW! Sayang... gue harus segera mengejar ketertinggalan.
"Memang mau kemana buru-buru? Ke Argopuro gak ngecamp di Cikasur mah percuma. Lagian, Cikasur itu tempat wajib campnya Argopuro, lho..."
PLAK!
Serasa ditampar sama talenan kayu, gue langsung bimbang.
"Iya bang, gue juga jadi pengen ngecamp di sini..." Nophe menambahkan. Diiringi anggukan Sandy menguatkan argumen tambahan dari Nophe.
"Tapi kan.... pesawat gue... ah kita udah telat banget nih!" Gue mulai pusing. Resah gelisah. Coba gue gak beli tiket pesawat dulu.
"Ke Surabaya? Naik pesawat tanggal berapa?" tanya Mas Sam.
"Si babang sih naik pesawat sendiri tanggal 25, mas. Kalau kita sih naik kereta, lebih legaan. Keburu gak sih kira-kira, mas kalau ditambah ngecamp semalem lagi di sini?" Nophe menjelaskan.
Kemudian Mas Sama dan kepala geng Chubby berunding sendiri pake bahasa Jawa Timuran disertai Maduraan yang terdengar di telinga gue cuma:
"Acen ini ganteng ya? Iya tau, dia tuh ganteng."
"Eek kamuh, perut gombyor gitu dibilang ganteng, rumpik lagi orangnya."
"Udah, bilang aja keburu, cyin. Depade lama elah."
"Iya, aku mah apalah buat dia."
Sesaat kemudian, Mas Sam bilang dalam bahasa yang akhirnya bisa kami mengerti:
"Jadi, kan pulang tanggal bla bla syubidab bidab cikicikwowow, keburu kok. Ngecamp aja di sini. Besok syalalala maju mundur cantik cantik. Gitu."
"Tuh kan bang, keburu. Sayang lagi, besok sunrise juga di sini..." kata Sandy mencoba meyakinkan.
"Tapi.... hmm...." kata gue sok gelisah sambil mikir. Sambil bolak balik makanin selada air yang udah direbus.
"Iya, mas, sayang lho udah sampai Argopuro gak ngecamp di Cikasur." ulang kepala geng Chubby rangers ini.
"Hmm... gue juga sebenernya pengen stay di sini sih. Okelah, yuk stay!"
Kemudian dengan murahannya gue bongkar keril dan bersiap memasang tenda.
***
Pilihan yang ternyata emang tepat banget buat ngecamp di Cikasur. Sehabis tenda berdiri tegak, langsung hujan deras mengguyur kami, dan gak berhenti sampai Maghrib. Sedikit kzl sih karena ternyata banyak rombongan pendaki yang ngebalap kami, which is, so pasti bakalan rame banget, tapi Cikasur emang magis! Terkecuali pas lagi hujan-hujan Sandy dan Nophe foto-foto pake payung sok cantik, terus tengah malam harinya gak bisa tidur lagi karena Sandy ngebangunin tidur nyenyak gue gegara merasa digangguin sama makhluk-makhluk astral sekitar Cikasur, Nophe yang tau-tau pindah arah tidur tanpa sadar, gue yang dari tidur nyenyak jadi gelisah karena didatengin penghuni Cikasur via mimpi, di ruang kosong di dalem tenda pun ada yang tiba-tiba ngisi, overall, Cikasur adalah tempat yang ajib dan ngangenin.
Terlebih, pas paginya, kami sangat berbahagia bertemu sinar matahari!
Pilihan yang ternyata emang tepat banget buat ngecamp di Cikasur. Sehabis tenda berdiri tegak, langsung hujan deras mengguyur kami, dan gak berhenti sampai Maghrib. Sedikit kzl sih karena ternyata banyak rombongan pendaki yang ngebalap kami, which is, so pasti bakalan rame banget, tapi Cikasur emang magis! Terkecuali pas lagi hujan-hujan Sandy dan Nophe foto-foto pake payung sok cantik, terus tengah malam harinya gak bisa tidur lagi karena Sandy ngebangunin tidur nyenyak gue gegara merasa digangguin sama makhluk-makhluk astral sekitar Cikasur, Nophe yang tau-tau pindah arah tidur tanpa sadar, gue yang dari tidur nyenyak jadi gelisah karena didatengin penghuni Cikasur via mimpi, di ruang kosong di dalem tenda pun ada yang tiba-tiba ngisi, overall, Cikasur adalah tempat yang ajib dan ngangenin.
Terlebih, pas paginya, kami sangat berbahagia bertemu sinar matahari!
***
Habis puas-puasin diri foto-foto, karena kami gak mau kebalap lagi sama rombongan yang jumlahnya puluhan itu, akhirnya kami bergegas jalan menuju Pertigaan Puncak. Shelter terakhir buat ngecamp yang ada di dekat Puncak Argopuro.
Meskipun waktu lagi jalan rasanya kayak.... Belum rela ninggalin Cikasur. Hiks. Aku masih mau guling-gulingan di bekas bandara pas jaman Belanda inilah..... Hiks.
"EH! ADA ANAK MACAN KUMBANG!" teriak gue pas ngeliat ada dua hewan kecil mungil item tengil berekor panjang berlarian ala kucing kebanyakan dari tanjakan pertama. Dimana Cikasur terlihat sangat luas dimari.
"Ah, mana-mana?? Monyet kali tuh!" sambut Nophe
"Monyet mah elu, itu macan tuh! Tuh!"
Kemudian Nophe gak mau ngomong sama gue sepanjang jalan.
astaga gue dekil banget kayak anak kampung lagi ngejar layangan di rel kereta |
***
Target gue adalah mencapai Cisentor secepat-cepatnya. Jadi gue sengaja terus bergerak tanpa berhenti selama kurang lebih sejam. Biar apa? Biar target gue tercapai. Efeknya apa?
"Gila, akhirnya berhenti juga!" keluh Nophe karena merasakan paksaan gue yang terus bergerak. Lalu gue salamin mereka dan bilang:
"Selamat, ini pertama kalinya kita jalan gak berhenti selama sejam penuh!"
"Wah anjirrrrr! Pantes! Gue udah yakin pasti lo ada apa-apa, ternyata kita udah jalan sejam penuh! Wihihhhhw!!" seru Sandy senang.
"Selanjutnya, dua jam tanpa berhenti...."
Kemudian gue dikeroyok sampe mati.
***
Menuju Cisentor ternyata cuma membutuhkan waktu sekitar 2.5 jam dengan kecepatan standar namun stabil. Gak perlu terbang, gak perlu lari gunung, gak perlu pake roket. Cukup istiqomah dalam berjalan kaki. Tapi di perjalanan, berhubung gue yang ada di depan, jadi muka gue selalu kena jaring laba-laba. Maklum, jalurnya penuh dengan tanaman perdu.... perduuuuuuuuuu hahahaha, tanaman semacam rerumputan super tinggi yang mana gue aja bisa hilang arah dibuatnya. Jadi, pas di jalurnya, banyak laba-laba iseng yang suka bikin jaring pas di tanaman antara jalur. Kezel sih pake banget, tapi apa boleh buat yekan.
Dari Cisentor, tujuan kami adalah Rawa Embik. Sumber air terakhir sebelum mencapai pertigaan puncak. Meskipun baru jalan 2.5 jam, tapi kaki gue berasa mau copot.
***
pengennya se-elegan di tipi-tipi, jadinya gini.... |
Bukan gue kayaknya kalau naik gunung gak pake drama, tapi serius, Cisentor - Rawa Embik itu bagaikan perjalanan tiada henti. Gue rasanya kayak udah lepas kaki, pasang lagi, lepas lagi, pasang lagi. Anehnya, gak cuma gue doang, tapi kayaknya kami semua udah kehilangan semangat jalan. Nophe yang perempuan kuat, udah sok lemah banget merajuk melulu, Sandy diem aja, gue... menguatkan diri biar sampai Rawa Embik tepat waktu. Dan akhirnya kami semua kalah, berhenti di sebuah lokasi penuh dahan-dahan kering macem bekas kebakar, dan membasmi lapar dengan makan siang, yang seharusnya dimakan di Rawa Embik.
Setelah makan, kami menguatkan hati dan kaki. Berjalan menuju Rawa Embik yang entah masih berapa jauh lagi.
Semenit jalan, masih semangat.
Dua menit jalan, tetap semangat.
Lima menit jalan.... RAWA EMBIK DI DEPAN MATA.
...asyudog. Ternyata tadi tinggal maju selangkah lagi aja udah sampe Rawa Embik!
***
Kata peta. PETA! PETA! PETA! *tembak dora tepat di kepala*
Kata peta, asli, ini gue kayak lagi di survival-survival gitu naik gunung bawa-bawa peta, baca peta, mana bisa juga sih, biar gaya aja, pokoknya kata peta, jarak Rawa Embik dan tujuan terakhir kami hari ini, Pertigaan Puncak, cuma sejam perjalanan.
Berbekal semangat sejam perjalanan itulah, gue dan anak-anak tetap semangat dalam menjelajah gunung Argopuro yang selalu membuat ternganga di setiap titiknya. Mulai dari medan hijau, medan bekas kebakaran hutan, rumput-rumput yang baru tumbuh, sampai lereng-lereng gunung yang super terjal.
Di saat hari semakin gelap karena awan mendung yang mengiringi disertai geluduk yang kian sering bergemuruh, tenaga kami mulai satu per satu tumbang. Dan di lereng gunung, kami beristirahat nanar sambil menggeh-menggeh dan ngobrolin soal keanehan yang menimpa salah satu pendaki di gunung Argopuro.
Orang tuh ada-ada coba kelakuannya, masa mendaki gunung Argopuro sendirian. Hasilnya? Hilang gak ada jejaknya, gak ketemu mayatnya, dari 2006 sampai sekarang. Yang gue gak habis pikir, itu orang kok bisa-bisanya ya berani sendiri di gunung yang masih super duper asli hutan ngeri begini. Kalau gue.... mungkin udah nangis-nangis bombay minta pulang sambil bersandar di pohon dan nyanyi aku mah apa atuh.
Anyway, habis dari lereng gunung, agak naik sedikit adalah gugusan batu yang sempat membuat kami berpikir kalau itu adalah gugusan batu menuju Puncak Argopuro. Artinya, pertigaan puncak udah deket banget. Kemudian kami menelusuri perlahan dengan sisa tenaga yang ada. Nyatanya....
Fak! Abis itu masih masuh hutan, lereng lagi, hutan lagi, hutan edelweiss yang rimbunannya setinggi-tinggi Jerapah, yang kayaknya gak bakalan kamu temui di gunung Jawa mana pun selain di Argopuro. Trus masih turun lembah. Naik lagi. Sampai mentok di hutan dengan pohon pinus yang tinggi-tinggi banget.
Sampai akhirnya gue terduduk. Lepasin semua benda yang gue panggul. Sedikit mau nangis. Kecapean maksimal. Dan baru kali itu dalam lubuk hati terdalam, yang gue inginkan saat itu juga, cuma....
"Gue mau pulang......"
Bersambung ke Diary Pendakian Gunung Argopuro 5.
loading...
0 Komentar Diary Pendakian Gunung Argopuro 4: Aku Ingin Pulang
Post a Comment
Kamu Familia dari mana ?