loading...
loading...
loading...
Sebelumnya, di GGPG 3: Karena Hatimu Berubah Dan Aku Tidak
"Tapi, aku sayang kamu..." kataku. Pathetic. Oh, i even lose my pride, too.
"Gak tau. Aku udah gak ada rasa sama kamu...."
***
Beri aku kesempatan
'Tuk bisa merindukanmu
Beri juga aku ruang
Bebas dan sendiri
"Lagu bullshit!" dengusku.
Kembali terngiang permintaan Sinta saat aku menangguhkan keinginannya putus denganku. Dia bilang,
"Yaudah deh Bisma, kita break aja dulu. Tapi jangan chat-chat aku dulu. Tunggu aku yang kangen kamu. Tunggu aku yang batuh kamu. Please, aku butuh ruang sendiri...."
Oh ya, sudah barang tentu aku menjawab:
"Iya... Aku tungguin."
Jreng. Murahan ya?
Biar bullshit, tapi aku tak kuasa menahan tangis tiap mendengarkan lagu terbaru dari Tulus ini. Liriknya begitu jahat. Sama kayak kamu, mengapa bisa jadi sejahat itu padaku?
***
Pikiranku kembali melayang saat kita pernah mendaki bersama. Mencoba mengingat setiap jengkal kenangan manis yang pernah kita miliki bersama.
"Sinta! Maneh ih, jangan cepet-cepet banget jalannya!" ujarku ngos-ngosan mencoba mengejar langkahnya yang lincah.
"Lemah luuu...." ejek Sinta.
"Kamu mah enak gak bawa apa-apa, gembel...!" seruku membalasnya. Berpura-pura marah.
"Biarin ha ha ha!" timpal Sinta tergelak.
Ah, lelah ini gak ada apa-apanya ketimbang melihat tawamu pecah dan senyummu mengembang. Aku sayang kamu. Semesta tahu itu. Kamu merasa kan, Gunung Andong juga memberikan belaian lembutnya untukmu, untukku, untuk kita, melalui semilir angin ini?
"Heh, Bisma! Fotoin!"
Katamu, cemburu padaku yang terus-terusan memotret keindahan Gunung Andong ini. Oh, kamu juga indah.
"Ogah. Masih cantikan gunung."
Kataku, mengolokmu. Saat melihatmu cemberut, segera kuarahkan kameraku. CKREK!
"Ih monyet! Gue lagi manyuuuuuunnn!"
Teriakmu kesal sambil berlari menubrukku. Lalu kita tertawa bersama. Menyenangkan, ya?
Sebagai seorang yang gemar mendaki gunung, tentu saja aku sangat bahagia berada di tempat favoritku. Bersama kamu, wanita favoritku. Kita anggap apa manusia-manusia di sekeliling kita? Pendaki kontrak. Pendaki yang ngontrak di dunia kita. Di bumi kita. Haha, egois ya?
Begitulah cinta, bukan?
Egois. Sama seperti apa yang kamu lakukan padaku kini...
***
"Bisma, gua mau nanya sama lo dah..." kata Acen, sahabatku. Di sela-sela percakapan kami membicarakan rencana besar mendaki Gunung Raung.
"Kenapa, Cen?" tanyaku datar.
"Lo sama Sinta masih pacaran, kan?"
"Masih lah. Kenapa memang?"
"Oh, berarti itu temennya kali ya...."
"Hah? Kenapa dah?"
"Gak, kapan tau gitu malem-malem gua kelar gym di Kuncit kayak ngeliat Sinta lagi nungguin siapa. Eh pas gua perhatiin, ada cowok gitu keluar dari gym, dia langsung ngerangkul Sinta. Trus mereka kayak manja-manja gitu langsung cabut entah kemana..."
"Ah, dia kalau sama temen deketnya emang suka gitu ha ha ha..."
"Oh, gua kira... he he he"
Okay, aku berpura-pura tegar. Aku mendidih. Jadi, ruang sendiri itu? Alasan ingin fokus ke karir itu.....?
***
Aku tahu rumahmu.
Aku tahu dimana kamu tinggal. Bersama siapa. Sebaik apa mereka.
Aku tahu. Sekedar mengingatkanmu, kita sudah bertunangan.
Keluargamu, keluargaku, akan menjadi satu. Bukan hanya aku dan kamu.
Jangan salahkan aku menantimu dalam gelap malam ini.
Stalker?
Oh, apakah seseorang yang sudah melingkarkan cincin pertunangan layak disebut stalker? Aku gak tau pasti. Yang jelas aku menanti di depan rumahmu. Rumah tetanggamu, tepatnya. Di dalam mobil pinjaman dari temanku. Aku cuma ingin melihatmu. Meski tak bisa meraihmu. Aku rindu. Bolehkan?
Tapi Sinta,
Siapa dia?
Siapa yang baru saja mengantarmu pulang? Siapa yang kau peluk sangat erat di atas motornya barusan? Siapa?
"Alfian!" sayup-sayup kudengar kau meneriaki namanya.
"Sinta sayang kamu....."
JLEB
***
"Bisma."
"Iya."
"Kamu kangen gak sama aku?"
"Belum."
"Ih jahat!"
"Iya. belum pernah aku gak kangen kamu."
"Hehehe."
Aku jadi ingat gombalan basiku di atas motor sewaktu kita masih baik-baik saja.
Ah basi banget ya? Biar deh.
Basi begitu, kamu selalu memelukku erat pada akhirnya. Artinya, lagi-lagi aku memenangkan hatimu bukan?
Kamu tahu gak, selepas aku tahu soal hubunganmu dengan Alfian. Aku hanya bisa memendamnya sendiri. Gak, aku gak akan kasi tahu kamu. Aku gak akan bikin malu kamu. Lagian, i feel like, you just lost your way. And you'll come back to me for sure. Meski aku gak yakin kapan. Tapi kamu pasti kembali. Lalu kita akan kembali lagi kayak dulu hingga menimang cucu.
Tapi,
Kenyataannya, sudah sebulan berlalu. Kamu dan ruang sendiri-mu, oh, mungkin lebih tepatnya, kamu dan selingkuhanmu, hidup berbahagia tanpa pernah sekalipun menoleh ke belakang. Menoleh kepadaku yang masih menunggumu. Mengharapkanmu. Seperti tanah kering menantikan hujan.
Jika aku mengembalikan pertanyaan ini ke kamu, aku sudah bisa menebak jawabannya.
"Kamu kangen gak sama aku?"
***
Grand Indonesia.
"Hai, Sin..."
Seharusnya aku, yang kamu genggam seerat itu. Seharusnya aku, yang ada di sisimu di mall favorit kita, dulu. Ingatkah kamu kalau kita masih terikat status? Ah, bener kata Maudy Ayunda, untuk apa status, kalau hatimu sudah berpaling?
"Bi... bisma... kok...?"
Aku tersenyum.
Melihatmu terkejut dan berusaha melepaskan genggamanmu dari Alfian. Melihat lelakimu berada dalam sejuta tanda tanya. Ah, mungkin jika semesta mempertemukan kita sebulan lalu dalam adegan seperti ini. Dimana aku tanpa sengaja menemukanmu bersamanya. Seseorang yang kamu sangat dambakan saat ini, yang membuatmu lupa akan keberadaanku, yang membuatmu meninggalkanku, mungkin aku akan langsung melayangkan tinjuku padanya. Bisa saja aku akan melukainya tanpa ampun. Tapi sekarang, aku hanya ingin tersenyum.
Pikiranku melayang.
Kembali ke masa-masa dimana semua perjuangan yang telah aku lakukan untukmu. Untuk membahagiakanmu. Memberikan hadiah terbaik yang bisa aku berikan padamu, yaitu waktu. Kamu tahu bukan, nobody in this world is too busy, it's always about priorities?
Selama ini, kamu prioritasku.
Kamu ingat?
Aku rela menanti berjam-jam untuk bisa berduaan denganmu. Berduaan saja. Meski akhirnya, aku cuma melihatmu asyik dengan ponselmu. Siapa yang kamu hubungi? Aku gak mau tahu. Aku gak perlu tahu. Aku juga tak pernah berniat melihat ponselmu. Aku percaya kamu. Bukankah cinta itu saling percaya?
Meski selalu, kamu yang tak percaya padaku. Memeriksa ponselku tiap saat bertemu. Insecure. Tapi pada akhirnya, justru kamu yang meninggalkanku. Pergi bersama lelaki lain. Tanpa pernah kutahu alasannya.
Mungkin aku yang tak peka atau tak pandai membaca tanda. Bahwa kamu bukan milikku lagi sejak lama. Hatimu, bukan untukku lagi. Bahwa aku bukan prioritasmu. Tak ada lagi aku di hatimu. Tak ada lagi kita. Haruskah aku bertahan atau menerima kenyataan?
"Semesta yang mempertemukan kita dulu. Semesta juga yang mempertemukan kita kini."
Kataku mantap. Masih terus tersenyum. Sambil mendekati kamu. Wajahmu mulai memerah. Mungkinkah kamu malu? Merasa jahat? Atau, kasihan padaku?
Tenanglah, melihatmu lagi, justru membuatku kuat. Membuatku tegar. Aku sendiri tak tahu.
"Semoga kalian selalu berbahagia ya..."
Di hadapanmu, aku lepaskan cincin pertunangan kita.
Aku menyalamimu. Menyalami kekasihmu. Menyalami kalian yang masih tertegun tak berdaya dan tak tahu apa-apa.
Aku pergi. Karena memang seharusnya aku yang pergi. Karena kamu takkan pernah menangisiku. Aku pergi. Membawa luka hati sembari mengikhlaskanmu berbahagia, bukan bersamaku, tapi bersamanya.
***
"Ei Bis! Tumbenan nelpon lu! Ada apa?"
"Raung jadi kan, Cen?"
"Jadi lah, gimana-gimana?"
"Lajulah!"
END.
***
Disclaimer:
Seperti yang ada di sinetron-sinetron, cerita ini hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama tokoh, lokasi, dan jalan cerita yang banyak dramanya, tentu aja karena disengaja. Apabila ada kejadian yang dirasa sama, jangan tersinggung, bukan berarti saya sedang nyinyirin anda, bisa jadi nasib kita sama.
Tengs.
Pikiranku kembali melayang saat kita pernah mendaki bersama. Mencoba mengingat setiap jengkal kenangan manis yang pernah kita miliki bersama.
"Sinta! Maneh ih, jangan cepet-cepet banget jalannya!" ujarku ngos-ngosan mencoba mengejar langkahnya yang lincah.
"Lemah luuu...." ejek Sinta.
"Kamu mah enak gak bawa apa-apa, gembel...!" seruku membalasnya. Berpura-pura marah.
"Biarin ha ha ha!" timpal Sinta tergelak.
Ah, lelah ini gak ada apa-apanya ketimbang melihat tawamu pecah dan senyummu mengembang. Aku sayang kamu. Semesta tahu itu. Kamu merasa kan, Gunung Andong juga memberikan belaian lembutnya untukmu, untukku, untuk kita, melalui semilir angin ini?
"Heh, Bisma! Fotoin!"
Katamu, cemburu padaku yang terus-terusan memotret keindahan Gunung Andong ini. Oh, kamu juga indah.
"Ogah. Masih cantikan gunung."
Kataku, mengolokmu. Saat melihatmu cemberut, segera kuarahkan kameraku. CKREK!
"Ih monyet! Gue lagi manyuuuuuunnn!"
Teriakmu kesal sambil berlari menubrukku. Lalu kita tertawa bersama. Menyenangkan, ya?
Sebagai seorang yang gemar mendaki gunung, tentu saja aku sangat bahagia berada di tempat favoritku. Bersama kamu, wanita favoritku. Kita anggap apa manusia-manusia di sekeliling kita? Pendaki kontrak. Pendaki yang ngontrak di dunia kita. Di bumi kita. Haha, egois ya?
Begitulah cinta, bukan?
Egois. Sama seperti apa yang kamu lakukan padaku kini...
***
"Bisma, gua mau nanya sama lo dah..." kata Acen, sahabatku. Di sela-sela percakapan kami membicarakan rencana besar mendaki Gunung Raung.
"Kenapa, Cen?" tanyaku datar.
"Lo sama Sinta masih pacaran, kan?"
"Masih lah. Kenapa memang?"
"Oh, berarti itu temennya kali ya...."
"Hah? Kenapa dah?"
"Gak, kapan tau gitu malem-malem gua kelar gym di Kuncit kayak ngeliat Sinta lagi nungguin siapa. Eh pas gua perhatiin, ada cowok gitu keluar dari gym, dia langsung ngerangkul Sinta. Trus mereka kayak manja-manja gitu langsung cabut entah kemana..."
"Ah, dia kalau sama temen deketnya emang suka gitu ha ha ha..."
"Oh, gua kira... he he he"
Okay, aku berpura-pura tegar. Aku mendidih. Jadi, ruang sendiri itu? Alasan ingin fokus ke karir itu.....?
***
Should I give up?
Or should I just keep chasin' pavements
Even if it leads nowhere?
Or would it be a waste
Even if I knew my place?
Should I leave it there?
Should I give up?
Or should I just keep chasin' pavements
Even if it leads nowhere?
Aku tahu rumahmu.
Aku tahu dimana kamu tinggal. Bersama siapa. Sebaik apa mereka.
Aku tahu. Sekedar mengingatkanmu, kita sudah bertunangan.
Keluargamu, keluargaku, akan menjadi satu. Bukan hanya aku dan kamu.
Jangan salahkan aku menantimu dalam gelap malam ini.
Stalker?
Oh, apakah seseorang yang sudah melingkarkan cincin pertunangan layak disebut stalker? Aku gak tau pasti. Yang jelas aku menanti di depan rumahmu. Rumah tetanggamu, tepatnya. Di dalam mobil pinjaman dari temanku. Aku cuma ingin melihatmu. Meski tak bisa meraihmu. Aku rindu. Bolehkan?
Tapi Sinta,
Siapa dia?
Siapa yang baru saja mengantarmu pulang? Siapa yang kau peluk sangat erat di atas motornya barusan? Siapa?
"Alfian!" sayup-sayup kudengar kau meneriaki namanya.
"Sinta sayang kamu....."
JLEB
***
"Bisma."
"Iya."
"Kamu kangen gak sama aku?"
"Belum."
"Ih jahat!"
"Iya. belum pernah aku gak kangen kamu."
"Hehehe."
Aku jadi ingat gombalan basiku di atas motor sewaktu kita masih baik-baik saja.
Ah basi banget ya? Biar deh.
Basi begitu, kamu selalu memelukku erat pada akhirnya. Artinya, lagi-lagi aku memenangkan hatimu bukan?
Kamu tahu gak, selepas aku tahu soal hubunganmu dengan Alfian. Aku hanya bisa memendamnya sendiri. Gak, aku gak akan kasi tahu kamu. Aku gak akan bikin malu kamu. Lagian, i feel like, you just lost your way. And you'll come back to me for sure. Meski aku gak yakin kapan. Tapi kamu pasti kembali. Lalu kita akan kembali lagi kayak dulu hingga menimang cucu.
Tapi,
Kenyataannya, sudah sebulan berlalu. Kamu dan ruang sendiri-mu, oh, mungkin lebih tepatnya, kamu dan selingkuhanmu, hidup berbahagia tanpa pernah sekalipun menoleh ke belakang. Menoleh kepadaku yang masih menunggumu. Mengharapkanmu. Seperti tanah kering menantikan hujan.
Jika aku mengembalikan pertanyaan ini ke kamu, aku sudah bisa menebak jawabannya.
"Kamu kangen gak sama aku?"
***
Kini ku tahu bila cinta tak bertumpu pada status
Semua orang tahu bila kita sepasang kekasih
Namun status tak menjamin cinta
Grand Indonesia.
"Hai, Sin..."
Seharusnya aku, yang kamu genggam seerat itu. Seharusnya aku, yang ada di sisimu di mall favorit kita, dulu. Ingatkah kamu kalau kita masih terikat status? Ah, bener kata Maudy Ayunda, untuk apa status, kalau hatimu sudah berpaling?
"Bi... bisma... kok...?"
Aku tersenyum.
Melihatmu terkejut dan berusaha melepaskan genggamanmu dari Alfian. Melihat lelakimu berada dalam sejuta tanda tanya. Ah, mungkin jika semesta mempertemukan kita sebulan lalu dalam adegan seperti ini. Dimana aku tanpa sengaja menemukanmu bersamanya. Seseorang yang kamu sangat dambakan saat ini, yang membuatmu lupa akan keberadaanku, yang membuatmu meninggalkanku, mungkin aku akan langsung melayangkan tinjuku padanya. Bisa saja aku akan melukainya tanpa ampun. Tapi sekarang, aku hanya ingin tersenyum.
Pikiranku melayang.
Kembali ke masa-masa dimana semua perjuangan yang telah aku lakukan untukmu. Untuk membahagiakanmu. Memberikan hadiah terbaik yang bisa aku berikan padamu, yaitu waktu. Kamu tahu bukan, nobody in this world is too busy, it's always about priorities?
Selama ini, kamu prioritasku.
Kamu ingat?
Aku rela menanti berjam-jam untuk bisa berduaan denganmu. Berduaan saja. Meski akhirnya, aku cuma melihatmu asyik dengan ponselmu. Siapa yang kamu hubungi? Aku gak mau tahu. Aku gak perlu tahu. Aku juga tak pernah berniat melihat ponselmu. Aku percaya kamu. Bukankah cinta itu saling percaya?
Meski selalu, kamu yang tak percaya padaku. Memeriksa ponselku tiap saat bertemu. Insecure. Tapi pada akhirnya, justru kamu yang meninggalkanku. Pergi bersama lelaki lain. Tanpa pernah kutahu alasannya.
Mungkin aku yang tak peka atau tak pandai membaca tanda. Bahwa kamu bukan milikku lagi sejak lama. Hatimu, bukan untukku lagi. Bahwa aku bukan prioritasmu. Tak ada lagi aku di hatimu. Tak ada lagi kita. Haruskah aku bertahan atau menerima kenyataan?
"Semesta yang mempertemukan kita dulu. Semesta juga yang mempertemukan kita kini."
Kataku mantap. Masih terus tersenyum. Sambil mendekati kamu. Wajahmu mulai memerah. Mungkinkah kamu malu? Merasa jahat? Atau, kasihan padaku?
Tenanglah, melihatmu lagi, justru membuatku kuat. Membuatku tegar. Aku sendiri tak tahu.
"Semoga kalian selalu berbahagia ya..."
Di hadapanmu, aku lepaskan cincin pertunangan kita.
Aku menyalamimu. Menyalami kekasihmu. Menyalami kalian yang masih tertegun tak berdaya dan tak tahu apa-apa.
Aku pergi. Karena memang seharusnya aku yang pergi. Karena kamu takkan pernah menangisiku. Aku pergi. Membawa luka hati sembari mengikhlaskanmu berbahagia, bukan bersamaku, tapi bersamanya.
***
"Ei Bis! Tumbenan nelpon lu! Ada apa?"
"Raung jadi kan, Cen?"
"Jadi lah, gimana-gimana?"
"Lajulah!"
END.
***
Disclaimer:
Seperti yang ada di sinetron-sinetron, cerita ini hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama tokoh, lokasi, dan jalan cerita yang banyak dramanya, tentu aja karena disengaja. Apabila ada kejadian yang dirasa sama, jangan tersinggung, bukan berarti saya sedang nyinyirin anda, bisa jadi nasib kita sama.
Tengs.
loading...
0 Komentar Ganteng Ganteng Pendaki Galau Season 3 Part 2: Langit Abu Abu
Post a Comment
Kamu Familia dari mana ?