Gunung Agung – Batur: Penjelajahan Empat Sekawan Kurang Tidur - NDX AKA MUSIC -->

NDX AKA MUSIC

NDX AKA MUSIC : SATU NDX SEJUTA FAMILIA

Gunung Agung – Batur: Penjelajahan Empat Sekawan Kurang Tidur

loading...
loading...
loading...
Dari kiri ke kanan: Selebgram hits Bali-Zicco Hudyoro, Mba-mba setrong-Kunthi Adinegoro, Brogue Ganteng, Selebgram idola jomblo masa kini-Meizal Rossi


Siapa yang gak kenal Bali? 

Sebuah pulau di negeri tercinta kita yang terkenal dengan sebutan Pulau Dewata ini jadi impian banyak orang dan masuk bucket-list puluhan juta manusia di muka bumi ini. 

Termasuk gua. Sahabat kesendirian, Meizal Rossi, dan mba-mba setrong, Kunthi Adinegoro. Tiga orang halu dari Jakarta yang mengunjungi Bali bukan karena pantai tapi karena gunungnya. 

Ya, kami berencana menjelajah dua gunung yang paling populer di Bali. 

Apa? Emang di Bali ada gunung? 

Woles. Bagi sebagian orang denger kata gunung di Bali, hampir kayak nemuin duit seratus ribu di saku celana jeans yang abis di laundry. Meski percaya aja gak cukup, kalau kenyataan membuktikan lain, kita bisa apa? 

Plis, skip aja bapernya.

Gunung paling populer di Bali ada dua, yaitu Gunung Agung, puncak tertinggi Bali dengan ketinggian 3.142 mdpl dan Gunung Batur, dengan ketinggian 1.717 mdpl.

Awalnya, Meizal, salah seorang selebgram ibu kota yang mengukuhkan dirinya sebagai senior editor di instagramnya sendiri ini cuma mengajak gua menjelajah gunung Agung. Tapi sejak mengajak seorang fotografer gopro handal sekaligus selebgram dan desainer interior di Bali, Zicco Hudyoro, terbesitlah keinginan buat mendaki gunung Batur sekalian. Maklum, jajaka asli Cirebon itu saking kelamaannya tinggal di Bali malah jadi mirip warga lokal.

Jadilah kami empat sekawan yang bukan superhero tetapi masih jomblo semua ini bergegas beranjak dari dinginnya Legian setelah diguyur hujan menuju Kintamani. Inilah cerita kami.

***
“Jadi kita mau kemana dulu nih?”

Pertanyaan Zicco di tengah derasnya hujan membuat keraguan yang basah menggelayuti gua, Meizal, dan Kunthi. Lagian, udah sampai Bali di hari Jumat pagi buta, masih ngobrol ngalor-ngidul, tidur cuma beberapa jam langsung cabut ke Nusa Penida. Main-main di sana sampai sore menjelang. Belum sempet istirahat, Zicco udah jemput.

“Makan dulu aja yuk? Laper eug!”

“Ebuset Cen, lau laper lagi? Makan mulu dah!” protes Meizal

“Liburan sambil move on itu perlu energi lebih tau!” balas gua sambil ngakak

“Yeu, baper mulu dah. Tempelin aja tuh Salonpas hati lo biar ilang pegelnya! Hahahha…”

Sehabis makan dan mendengarkan warga lokal (baca: Zicco) menerangkan soal jarak, kemungkinan, dan strategi yang tepat buat menjelajah dua gunung sekaligus dalam dua hari tanpa ngecamp, akhirnya kami memutuskan buat mendaki gunung Batur duluan karena jauh lebih dekat dan lebih nanjakable. Mengingat stamina yang kayaknya gak sanggup juga mendaki gunung Agung.

Zicco bilang, gunung Agung itu, berat!

***

GUNUNG BATUR
Sabtu, 01.00



“Wih! Zic! Bulannya persis di atas puncak gunung!” seru gua pada Zicco yang lagi fokus nyetir motor di jalanan nanjak menuju gunung Batur.

“Ih najis romantis banget ngomongnya!”

“Ih, amit-amit, ngapain juga romantisin laki-laki kayak elu. Itu nyet, liat dah gus nget!” 

“Hooh, kalian beruntung banget dikasi terang bulan. Padahal dari tadi ujan gede ya…”

“Iya, amin. Semoga pas nanjak terang terus!”

02.30

Sesampainya di basecamp gunung Batur di Kintamani, kami merem-merem sejenak, ngemil di warung tetangga, sok kenal sama warga lokal lainnya, dan memuji kenikmatan kerupuk bawang seharga seribu rupiah yang gua sampe sekarang nyesel banget gak bawa pulang ke Jakarta. 

Akhirnya waktu mendaki yang ditunggu-tunggu tiba. Siap gak siap, ngantuk gak ngantuk pendakian harus dimulai. Sia-sia banget kan kalau gua udah jauh-jauh datang dari Jakarta malah kalah sama ngantuk?

Gunung Batur ini terkenal banget sama view-nya yang ajib pas sunrise dan medannya yang bisa dibilang mudah. Menjalaninya, ternyata emang gak sesulit yang gua bayangkan.

Awal pendakian masih didominasi sama medan hutan berpasir. Kira-kira setengah jam dari hutan, udah masuk medan sabana yang masih juga berpasir ditambah kerikil-kerikil kecil. Kerikil kecil itu ngeselin ya, kalo banyakan, bikin kepleset pas jalan. Sama kayak hubungan, kalau ada kerikil kecil dikit aja, pas lama-lama jadi banyak, akhirnya bubaran juga. Dih baper lagi kan gua.
Sejak masuk medan sabana, puncak gunung terasa nyata dan dekat.

Ada sebersit perasaan pongah yang sempat terucap, meski di hati saja, karena ucapan di bibir banyak palsunya: wih dikit lagi sampe! Gini doang nih gunung Batur? 

Did I mentioned about jangan pernah meremehkan gunung sekali pun? Yes. Meski cuma terucap dalam hati saja, gua langsung dihajar kenyataan kalau puncak masih jauh cuy!

Dan semakin lama medan pendakian semakin ekstrim. Mirip-mirip menuju puncak Rinjani dicampur Mahameru. Berpasir dengan kerikil-kerikil kecil tapi panjang banget jaraknya. Belum lagi dihajar rasa ngantuk ekstrim yang mau merem aja pokoknya. Gak mau melek lagi sampe tahun depan.

Pada kenyataannya, buat mencapai puncak, medan kayak gini harus dijalanin juga, toh?



“Are you a guide?” sapa seorang bule di belakang gua saat perjalanan menuju puncak semakin dekat.

“Yawla, muka cengo kurang tidur begini apa guide-nya coba.”

“Pardon?”

“Oh, sorry, no, I’m also a tourist.” Jawab gua sekenanya

“Ah, locals. Haha. Did you pay the entrance?” tanya si bule yang ternyata bareng temen.

“Yes. Of course. Why?”

“How much did you pay?”

“Around Rp10.000. You?”

‘What???? How come?!”

“Gua gak tau sumpah. Gua gak tau……”

“We have to pay $25 each! Because we are bule? If you hike in Netherlands, the entrance ticket will be the same for everyone...” ujarnya kesal. Lalu ngobrol berdua sama temennya pake bahasa Belanda. Oh, ternyata mereka orang Belanda. Untung gua orang Jawa. Lah, gak nyambung jek.

Gua melipir nyari Kunthi sama Zicco. Daripada dikata-katain pake bahasa Belanda, untung gak ngerti, kalau ngerti kan pedih.

Semakin menuju puncak, semakin kentara medan pasirnya. Tapi gak separah Mahameru sih. Gak sampai bikin kaki terjerembab dalam pasir, apalagi dalam kenangan.

05.00

“Naik dikit lagi cuy,  gua biasanya di sana. Gua jamin lebih sepi!” ajak Zicco sesampainya kami di puncak. 

Demi dewa-dewi yang bersemayam di Bali. Gua ngantuk paraaahhhh! Plis bobo plis!

Tapi emang sih, puncak aslinya kayak gitu banget. Ramebet orang rame. Kayak gak ada spot gitu kalau mau duduk. Buat duduk aja susah, gimana buat foto-foto coba?

Dengan berat mata, hati, dan kaki, kami semua mengikutinya hingga satu spot, yang pada kenyataannya, merupakan satu lokasi yang paling luar biasa buat ngeliat view sunrise! Gua cuma bisa speechless dan langsung mengabadikan momen sunrise terbaik gua setahun belakangan ini. Kalo ibarat komik Jepang, gua pasti akan teriak-teriak:

KYAAAA KYAAAAAA!





***
GUNUNG AGUNG
Sabtu, 10.00

“Apa yang ada di pikiran kucing itu ya?” kata Meizal sambil bengong dengan muka cengo maksimal saat kami lagi hening-heningnya nungguin makanan datang di warung makan. Ternyata cengo begitu pandangannya lagi kosong menatap kelakuan kucing yang lagi jilat-jilatin badannya sendiri.

“Yaa ampun, muka lu! Halu lu yak? Hahahhahaha!” 

Meski gunung Batur bukan gunung yang berat, dengan stamina sisa-sisa, emang badan, kaki, pundak, jadi pegel banget kayak abis ditubruk bison yang lagi pacaran. Berat di fisik berat di mental.

Untungnya, Kintamani punya paket lengkap wisata alam. Selain ada gunung Batur, juga ada dua lokasi pemandian air panas alami. 

Badan separo remuk begini direndem di air panas rasanya… Nyess. Langsung rileks, makin lemes, dan menyebabkan kehaluan tingkat tinggi.

Ya kayak Meizal tadi. 

Gua, Kunthi, sama Zicco cuma ketawa gak berhenti-henti.

11.00

“Eh Cen, gua jadi dong cobain pake Salonpas yang kata lo model sandwich gitu dong… gimana sih caranya?” kata Kunthi sesampainya di penginapan tempat kami rehat sejenak sebelum mendaki gunung Agung

“Wah itu parah sih, enak banget demi Tuhan masang Salonpas model begitu. Tinggal tempel aja Salonpas di telapak sama punggung kaki lo, jadi ya seolah-olah kayak roti sandwich.” jelas gua. Asli, udah kayak duta Salonpas belum?

“Eh, gua mau cobain juga donggg!” kata Zicco


21.00

“Bangun cuy! Udah jam segini! Agung masih jauh!” seru Meizal membangunkan gua, Kunthi, dan Zicco yang masih menggelepar di kasur.

Ya ampun. 

Dasar kurang istirahat ya, tidur dari siang ke sore, bangun lagi, tidur lagi sampai malem, badan masih berasa abis ketiban gula pasir. Kiloan. Yang masih ada di karung.

Untung sempet tempelin Salonpas dimana-mana, badan jadi segar pas bangun tidur.

Minggu, 00.00

“Zicco, demi apapun jangan tinggalin gua!” seru gua sambil narik-narik motor matiknya yang lagi susah payah dia usahakan nanjak.

Menuju jalur pendakian gunung Agung di Pura Pasar Agung memang luar biasa. Belum apa-apa, udah dihajar sama tanjakan. Motor kopling atau matik yang 150 cc kayaknya bisa mudah melewatinya sih. Tapi motor matik cimit-cimit kayak punya Zicco, ditambah si empunya yang tinggi-besar plus gua yang keberatan dosa, mau dibawa jalan zig-zag juga gak bakal kuat.

Akhirnya gua mengalah turun. Dan Zicco berencana meninggalkan gua begitu saja. No no no. Dia gak tau aja di tengah-tengah hutan belantara tanpa ada seberkas cahaya pun kecuali dari lampu motor ini udah banyak makhluk tak kasat mata yang beterbangan ke sana ke mari. Hih. Serem tau!

01.30

“Kunthi, lo jangan ngelamun ya…” kata gua setelah tanpa gak sengaja gua ngeliat ada bayangan yang ngikutin Kunthi.

“Oh, iya, Cen…” jawab Kunthi, seolah memahami apa yang gua maksud.

“Lo di depan gua dah, biar gua sweeper.” ujar gua langsung membiarkan Kunthi melewati gua.

Jalur pendakian Pura Pasar Agung ini merupakan jalur yang cukup popular. Dimulai dengan melewati Pura Pasar Agung, langsung masuk ke medan hutan yang cukup rimbun, gua kayak teringat sama Gunung Slamet. Tipikal hutan rimbun dengan medan tanah kering yang cukup lebar.

Udah lama sebenernya gua gak mendaki tengah malam kayak gini. Awalnya gua kira bakal aman-aman aja tanpa ada makhluk malam yang mengusik. Ternyata, sejak si Kunthi mengeluh badannya berat banget sampe muntah-muntah segala, bukan cuma kondisi fisik yang mempengaruhinya. Ada ‘faktor’ lain di belakang ngikutin dia.

Semoga cepet ilang deh si abang item gede di belakang gua. Hih.

02.30

“Gengs, kita muncaknya ke puncak Besakih ya. Lewat sini. Melipir. Pokoknya perhatiin yang ada tanda putih. Ikutin gua.” kata Zicco memandu.

Kata Zicco, puncak Besakih lebih kece ketimbang puncak Pura Pasar Agung. Tapi karena lewat jalur Pura Pasar Agung, akhirnya kami harus melipir. Mau tau melipir apa? Melipir punggungan gunung! Dang!

Asal tau aja, punggungan gunung Agung itu creepy abis. Jurang everywhere! Meleng dikit die. Kepleset dikit die. Belum lagi angin dingin dari puncak gunung yang menyerang. Berat bet pendakian kali ini kayaknya.

04.30

Srak! Brak!

Buset! Hampir aja gua jatoh ke jurang! Ngantuk parah!

“Eh, kayaknya gua gak sanggup deh. Gua kudu tidur dulu deh sepuluh menit, udah gak kuat lagi.” kata gua menghentikan rombongan. Gua gak mau ambil resiko lebih dari ini. Gua harus tidur.

“Gua juga deh.” Kunthi menimpali

Setelah menemukan batu agak besar, gua dan Kunthi langsung tidur. Gua bahkan sempet ngimpi. Tapi gak sampe 10 menit, gua udah bangun lagi. Kalo gak, bisa mati kedinginan. Untungnya gua juga udah tempelin Salonpas Koyo di hidung, kalo lupa, bisa-bisa ingus jadi es semua gara-gara dingin yang menusuk dan akhirnya malah mati sesek napas. Kalo pake Salonpas Koyo, kan ingus tetep meler dan jadi tetep lega pernapasan gua.

05.30

“Masih jauh gak puncaknya?” tanya gua. Mata makin gak bisa diajak kompromi.
“Jujur aja sih, masih.” Jawab Zicco.

“Tinggalin gua di sini aja deh. Gua gak kuat lagi.” Kunthi mulai lemah. Dari tadi emang keliatan udah hilang semangatnya.

“Ih drama tabok ye. Kita cuma butuh tidur bentar kok. Tidur dulu aja ya? Udah gak mungkin dapet sunrise juga kan?” kata gua menimpali.

“Iya yuk tidur dulu aja deh…” Meizal menambahkan dan langsung nyari posisi pewe.

“Ya udah, istirahat dulu deh setengah jam.”

08.00

“Demi apa puncaknya masih jauh?” kata gua gak sanggup lagi melihat medan yang makin terjal. Meski terlihat dekat, tapi tebing-tebing ala puncak tusuk gigi gunung Raung yang menandakan puncak Besakih ini sejatinya masih jauh banget. 

Masya Allah. Gua sempat menyepelekan soal kayak apa sih gunung Agung? Di Bali kan lebih tenar laut. Ya gunungnya pasti gak berat-berat amat lah ya.

Despite of stamina yang terkuras karena kurang istirahat, tenaga sisa-sisaan micin, tektok Nusa Penida ,dan gunung Batur kemaren, jalur pendakian gunung Agung memang juara! Gradenya udah setaranya sama gunung-gunung kayak Rinjani dan Latimojong.

09.00

PUNCAK AGUNG!!

Sayangnya, sesampainya di puncak Besakih, gua dan Zicco langsung dihadang kabut tebal dan angin kencang. Rasanya bok, dingin sampe menusuk tulang dan gak ada yang bisa dilihat. Untung aja gua lagi kelaperan, jadi bodo amat ah. Langsung makan telor dan nasi yang udah disiapin dari semalem sambil nunggun Kunthi sama Meizal sampai.

Saat mereka sampai, kami semua malah kompak tidur sambil nungguin kabut tebal ini kelar.

Bangun-bangun, kecewa karena kabut masih tebal juga.

Begitu siap-siap turun...


...blar. Kabut ilang gitu aja.

Terima kasih dewa!




End.
loading...
CLICK HERE

0 Komentar Gunung Agung – Batur: Penjelajahan Empat Sekawan Kurang Tidur

Post a Comment

Kamu Familia dari mana ?

Back To Top